PERTANYAAN :

Pertanyaanku ini tentang tertib dalam membaca surat-surat Al Quran saat sholat baik sholat jahriyah maupun sirriyah. Apakah orang yang sholat harus membaca surat dan ayat Al Qur’an sesuai dengan tertib dalam mushhaf? Misalnya pada rokaat pertama baca surat An Nashr, lalu di rokaat kedua baca surat Al Kautsar. Dan bolehkah para rokaat pertama membaca surat Al Baqoroh ayat 50-60, lalu di rokaat keduanya Al Baqoroh ayat 10-20? Mohon penjelasan atas perkara ini, serta mohon keterangan alasannya.

JAWABAN :

Alhamdulillah, membaca Al Quran pada bagian yang akhir sebelum bagian yang terdahulu (dibalik urutannya) disebut ‘At Tankis‘. Tankis ada beberapa macam : Tankis Huruf; Tankis Kilmah; Tankis Ayat; Tankis Suwar.

1. Tankis Huruf (Membalik Huruf) yaitu mendahulukan huruf yang berikutnya sebelum huruf yang mendahuluinya dalam suatu kata. Contoh : menukar huruf pada kata ( رب ) dengan “بر”. Ini jelas tidak diragukan keharamannya, sholat menjadi batal dengan perbuatan ini. Karena telah mengeluarkan Al Quran dari bentuk kata-kata yang Allah ta’ala firmankan. Seperti kebanyakan kasus, makna kata akan mengalami perubahan yang besar. 1 

2. Tankis Kilmah ( Membalik Kata ) yaitu mendahulukan kata yang menyusul berikutnya terhadap kata yang sebelumnya. Contoh : menukar kata pada kata ( قل هو الله أحد ) dengan “أحد الله هو قل”. Ini pun tidak diragukan jelas haramnya. Karena telah mengeluarkan susunan kata dari bentuk ucapan yang Allah ta’ala firmankan. 2 

3. Tankis Ayat (Membalik Ayat) yaitu membaca ayat yang berikutnya sebelum ayat yang mendahuluinya. Contoh : membaca ayat ( من شر الوسواس الخناس ) sebelum ( إله الناس ). Tentang ini, Al Qodhi ‘Iyadh rahimahullah (w. 544 H) berkata : “Tidak ada khilaf bahwasanya tertib ayat adalah tauqifiy (petunjuk wahyu) dari Allah ta’ala sesuai susunan sekarang yang terdapat pada mushhaf. Seperti inilah susunan yang kutip oleh umat ini dari Nabi-nya shallallahu ‘alaihi wasallam3

Syaikh ibn Utsaimin rahimahullah (w. 1421 H) berkata, “Menurut pendapat yang rajih tankis ayat adalah haram hukumnya, karena tertib ayat itu perkara tauqifiy, maksud tauqifiy di sini adalah bahwa tertib seperti ini atas perintah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam4 

4. Tankis Suwar ( Membalik Urutan Surat), yaitu membaca surat yang berikutnya sebelum surat yang mendahuluinya. Contoh : membaca surat Ali Imron sebelum Al Baqoroh. Hukumnya, sebagian ulama berkata bahwa tertib surat bukan perkara tauqifiy, hukumnya tidak apa-apa. Sebagian lain berpendapat bahwa tertib surat adalah perkara tauqifiy atau ijma’-nya para sahabat atas tertib surat cukup menjadi dalil tidak bolehnya (tankis surat) ini.

Yang sahih dalam hal ini, adalah tertib surat bukan perkara tauqifiy, dan hanya ijtihad sebagian dari sahabat. Dan tidak ada ijma’ di antara sahabat perihal tertib surat ini. Contohnya, mushhaf “Abdullah ibn Mas’ud” berbeda tertib suratnya dengan mushhaf-mushhaf yang lain.

Dan dalil As Sunnah yang menguatkan pendapat akan kebolehannya :

1. Hadits :

عن حذيفة قال : صليتُ مع النبي صلى الله عليه وسلم ذات ليلة فافتتح بالبقرة ، فقلت : يركع عند المائة ، ثم مضى ، فقلت : يصلي بها في ركعة ، فمضى ، فقلت : يركع بها ثم افتتح النساء فقرأها ثم افتتح آل عمران فقرأها……  (رواه مسلم : 772 )

Dari Hudzaifah radhiyallohu ‘anhu , beliau berkata : Pada suatu malam aku sholat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau mulai membaca Al Baqoroh, lalu aku berkata (dalam hati) : “Paling nanti akan rukuk pada ayat ke 100”, lalu Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tetap lanjut saja. Aku pun berkata (dalam hati), “Mungkin Al Baqoroh ini akan diselesaikan pada satu rokaat ini”, tapi Beliau tetap saja lanjut saja, hingga aku pun berkata (dalam hati), “habis ini akan rukuk”. Rosulullah pun tetap melanjutkan ke surat An Nisa’, lalu berlanjut mulai membaca Ali Imran… [HR. Muslim 772].

Inilah bukti dalam hadits ini bahwa Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam membaca surat An Nisa’ sebelum surat Ali Imran.

Imam An Nawawi rahimahullah (w. 676 H) berkata :

­­Imam Al Qodhi ‘Iyadh rahimahullah berkata : “hadits ini menjadi dalil bagi yang berpendapat bahwa tertib surat-surat Al Quran adalah ijtihad kaum muslimin pada masa penulisan mushhaf, dan ini bukanlah bentuk susunan surat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam namun beliau menyerahkan penyusunan mushhaf ini kepada umat setelah beliau (masa sahabat).”

Beliau (Al Qodhi ‘Iyadh) juga berkata : “Inilah pendapat Imam Malik dan Jumhur ulama (mayoritas ulama) rahimahumullah, pendapat ini pula yang dipilih oleh Al Qodhi Abu Bakr Al Baqillani rahimahullah (w. 402 H), Ibn Baqillani berkata : inilah yang paling shahih di antara dua pendapat beserta adanya ihtimal (kemungkinan benar dan salah) dari keduanya”.

Beliau (Al Qodhi ‘Iyadh) berkata : “Kami katakan bahwa tertib surat tidak wajib dalam penulisan, sholat, pelajaran, menuntun bacaan, dan pengkajian, tidak ada nash dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak ada dalil yang mengharamkan penyelisihan urutan surat. Karena itu pula beberapa mushhaf sebelum mushhaf utsman berbeda urutan suratnya.”

Beliau (Al Qodhi) berkata : “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan umat setelah beliau di seluruh masa memperbolehkan meninggalkan tertib surat dalam sholat, pelajaran, menuntun bacaan”

Beliau (Al Qodhi) berkata : “Sedangkan bagi para ulama yang berpendapat bahwa tertib surat adalah tauqifiy (petujuk) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka menetapkan urutan sebagaimana tertib dalam mushhaf ustman perbedaan urutan beberapa mushhaf hanya karena belum sampainya tauqif (petunjuk dari Nabi) dan belum ada usulan terakhir (atas dasar petunjuk Nabi)- dan mereka menafsirkan bacaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang mendahulukan surat An Nisa kemudian Ali Imran adalah karena saat itu terjadi sebelum ada tauqif (perintah dari Allah) dan petunjuk untuk tertib surat. Dan memang urutan dua surat (An Nisa’ kemudian Ali Imron) seperti itu ada pada mushhaf Ubay ibn Ka’ab”.

Beliau (Al Qodhi) melanjutkan : “Dan tidak ada perselisihan akan bolehnya orang yang sholat pada rokaat kedua membaca surat sebelum surat yang telah dibaca pada rokaat pertama, hanya saja makruh jika dilakukan dalam satu rokaat, dan makruh pula jika dibaca di luar sholat. ”

Beliau (Al Qodhi) melanjutkan : “Dan sebagian dari mereka juga ada yang membolehkannya (dibaca di luar sholat) dan tafsiran atas larangan ulama salaf terhadap pembacaan surat secara terbalik adalah yang membalik akhir surat menjadi awal surat”

Kata beliau (Al Qodhi) : “Karena tidak ada khilaf bahwa tertib ayat dalam setiap surat adalah tauqif dari Allah ta’ala sebagaimana yang sekarang terdapat dalam mushhaf, demikianlah yang diperoleh umat ini dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

Selesai perkataan Al Qodhi ‘Iyadh rahimahullah. Wallahu a’lam. 5

Al ‘Alamah As Sindiy rahimahullah (w. 1138 H) berkata :

Perkataan Hudzaifah radhiyallohu ‘anhu “lalu beliau berlanjut mulai membaca Ali Imran”, membawa konsekuensi tidak adanya keharusan terhadap urutan surat ketika membaca. 6

2. Hadits:

عن أنس بن مالك رضي الله عنه كان رجل من الأنصار يؤمهم في مسجد قباء وكان كلما افتتح سورة يقرأ بها لهم في الصلاة مما يقرأ به افتتح بـ{ قل هو الله أحد } حتى يفرغ منها ثم يقرأ سورة أخرى معها وكان يصنع ذلك في كل ركعة فكلمه أصحابه فقالوا إنك تفتتح بهذه السورة ثم لا ترى أنها تجزئك حتى تقرأ بأخرى فإما تقرأ بها وإما أن تدعها وتقرأ بأخرى فقال ما أنا بتاركها ، إن أحببتم أن أؤمكم بذلك فعلت وإن كرهتم تركتكم ، وكانوا يرون أنه من أفضلهم وكرهوا أن يؤمهم غيره فلما أتاهم النبي صلى الله عليه وسلم أخبروه الخبر فقال يا فلان ما يمنعك أن تفعل ما يأمرك به أصحابك ؟ وما يحملك على لزوم هذه السورة في كل ركعة ؟ فقال إني أحبها فقال حبك إياها أدخلك الجنة رواه البخاري معلقاً ، والترمذي من طريق البخاري (2901)

Diriwayatkan dari Anas ibn Malik radhiyallohu ‘anhu bahwa ada seorang dari sahabat Anshor menjadi imam di masjid Quba’. Setiap kali dia memulai membaca surat Al Quran beliau mengawali dengan membaca surat “قل هو الله أحد” hingga selesai, lalu melanjutkan membaca surat yang lain. Hal itu dilakukan pada setiap rokaat, hingga para sahabat yang lain menegurnya, mereka berkata ‘Kau ini mengawali bacaan dengan surat ini, lalu kau masih belum cukup dengannya hingga kau baca surat lain, mestinya kadang kau membacanya, kadang pula kau tidak perlu membacanya dan membaca surat yang lain saja’. Maka sahabat tadi berkata ‘Aku tidak akan meninggalkan hal ini, jika kalian mau aku akan mengimami kalian dengan caraku, jika kalian tidak suka aku tidak mau mengimami kalian’. Bagaimanapun, mereka masih memandangnya sebagai tokoh utama mereka dan mereka tidak mau diimami oleh selain dia. Ketika suatu ketika Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkunjung dan menemui mereka, mereka pun menyampaikan hal itu kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya : ‘Wahai Fulan, Apakah yang menghalangimu untuk melakukan apa yang disarankan para wargamu ini? Apa yang membuatmu selalu membaca surat ini di setiap rokaat?’. Sahabat itu pun berkata : ‘Sungguh aku ini mencintai surat ini’. Maka beliau  shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : ‘Kecintaanmu terhadap surat ini yang akan memasukkanmu ke surga’. [Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq, dan At Tirmidziy dari jalur Al Bukhari, no 2901]

Dan penunjukan dari hadits tersebut :  Pembacaan surat Al Ikhlas seseorang dalam sholat sebelum memulai membaca surat lain yang lebih dulu tertibnya. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun telah menetapkan kebolehannya.

  • Sesuai yang dilakukan oleh Umar ibn Khattab radhiyallohu ‘anhu.

Imam Al Bukhari rahimahullah (w. 256 H) berkata : Dan Al Ahnaf membaca surat Al Kahfi pada rokaat pertama, dan surat Yusuf atau Yunus pada rokaat kedua, dan Ahnaf menyebutkan pula bahwa beliau pernah sholat subuh bersama Umar ibn Khattab radhiyallohu’anhu dengan dua surat tersebut. 7

Adapun untuk pertanyaan bagian terakhir, maka kami katakan :

Boleh hukumnya membaca surat Al Baqoroh ayat 50-60 di rokaat pertama, lalu surat Al Baqoroh ayat 1-20, karena makna yang dibaca sudah sempurna (tidak terputus / terbalik maknanya). Adapun jika membacanya dari ayat 10 – 20 (dari surat Al Baqoroh), maka di situ ada keterputusan makna dan lebih baik hal ini ditinggalkan. Semoga saja nomor ayat yang Anda sebutkan itu hanya sebagai contoh, bukan bermaksud menganggap satu rangkaian ayat-ayat. Wallahu a’lam.

Dijawab oleh :
Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid hafizhahullah

Sumber : https://islamqa.info/ar/7198

Terjemah : Adhi S

Footnotes

  1. Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ Li Ibn Utsaimin, Dar Ibn Jauzi, Cet. Pertama, Juz 3, hal 77
  2. Syarhul Mumti’, Juz 3, hal 77
  3. Syarh Nawawi ‘Alal Muslim, Muasasah Qurthubah, Cet. Kedua, Juz 6 hal. 89; seperti ini juga dikatakan Ibn Al Arobiy rahimahullah (w. ) dalam Kitab Al Burhan fi Tartib Suwaril Qur’an, Cet. Mamlakah Al Maghribiyah, 184.
  4. Syarhul Mumti’, Juz 3, hal 78
  5. Syarh Nawawi ‘Alal Muslim,Muasasah Qurthubah, Cet. Kedua, Juz 6 hal. 88-89; Bab Kitabu Sholat Musafirin wa Qoshriha
  6. Sunan An Nasa’i bisyarh Al Hafizh Jalaluddin Suyuthi wa Hasyiyah Imam As Sindiy, Cet Darul Ma’rifah, Juz 2, Hal  250
  7. Fathul Baari li Ibn Hajar Al Asqolaniy, Cet. Maktabah Salafiyah, Juz 2, Hal. 255