Di antara cara Allah ta’ala memuliakan dan memberi taufiq dan ilham kepada salah seorang hamba adalah dengan dibekalinya ketaatan dan amalan kebaikan sebelum wafatnya. Itulah diantara tanda-tanda husnul khatimah, dimana Allah memberi seorang hamba taufiq untuk menjauhi apa saja yang dimurkai-Nya, bertaubat atas segala dosa maksiat, mudah menerima amal ketaatan dan kebaikan, hingga saat wafatnya kemudian sedang berada pada kondisi itu.

Sebagaimana apa yang di tunjukkan dalam sebuah hadits,

قَالَ رَسُولُ اللَّه صلى الله عليه وسلم: «إِذَا أَرَادَ اللَّهُ عز وجل بِعَبْدٍ خَيْرًا عَسَلَهُ» قِيلَ: وَمَا عَسَلُهُ؟ قَالَ: «يَفْتَحُ اللَّهُ عز وجل لَهُ عَمَلًا صَالِحًا قَبْلَ مَوْتِهِ، ثُمَّ يَقْبِضُهُ عَلَيْهِ» (مسند الإمام أحمد، حديث رقم: 17438)

Rosulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Apabila Allah azza wa jalla menghendaki kebaikan untuk seorang hamba, maka Dia akan memaniskannya dengan madu”. Sahabat bertanya : “Apa maksud memaniskannya dengan madu?”. Beliau menjawab : “Allah azza wa jalla bukakan untuknya pintu amal shalih sebelum meninggalnya, baru kemudian Dia mencabut nyawanya.” [Musnad Ahmad, Hadits No. 17438]

Pada riwayat lain dari Imam Ahmad juga disebutkan secara marfu’ :

حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ حُمَيْدٍ عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: «إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا اسْتَعْمَلَهُ» قَالُوا: وَكَيْفَ يَسْتَعْمِلُهُ؟ قَالَ: «يُوَفِّقُه? لِعَمَلٍ صَالِحٍ قَبْلَ مَوْتِه» (مسند الإمام أحمد، وإسناده متصل، رجاله ثقات، على شرط الشيخين: البخاري والمسلم)

Ibnu Abi ‘Adiy menuturkan kepada kami dari Humaid dari Anas radhiyallahu ‘anhu : Rosulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Apabila Allah azza wa jalla menghendaki kebaikan untuk seorang hamba, maka Dia akan mempekerjakannya”. Mereka (sahabat) bertanya : “Bagaimana Allah mempekerjakannya?”. Beliau menjawab : “Allah azza wa jalla akan memberinya taufiq untuk melakukan amal shalih sebelum meninggalnya.” [Musnad Imam Ahmad, dengan sanad bersambung, rijal rowinya tsiqah sesuai syarat Bukhari dan Muslim]

Ada lagi riwayat :

حَدَّثَنَا حَيْوَةُ بْنُ شُرَيْحٍ، وَيَزِيدُ بْنُ عَبْدِ رَبِّهِ، قَالَا: حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ بْنُ الْوَلِيدِ، حَدَّثَنِي بَحِيرُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ، حَدَّثَنَا جُبَيْرُ بْنُ نُفَيْرٍ، أَنَّ عُمَرَ الجُمَعيّ حَدَّثَهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا اسْتَعْمَلَهُ قَبْلَ مَوْتِهِ» فَسَأَلَهُ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ: مَا اسْتَعْمَلَهُ؟ قَالَ: «يَهْدِيهِ اللَّهُ عز وجل إِلَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ قَبْلَ مَوْتِهِ، ثُمَّ يَقْبِضُهُ عَلَى ذَلِكَ» (مسند الإمام أحمد، حديث رقم: 16884).

Haywah bin Syuraih dan Yazid bin Abdur Rabbih menuturkan kepada kami : keduanya berkata : Baqiyah bin Al Waliid menuturkan kepada kami, Bahiir bin Sa’ad menuturkan kepada saya dari Khalid bin Ma’dan, Jubair bin Nufair menuturkan kepada kami bahwa Umar Al Juma’iy menuturkan : bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Apabila Allah menghendaki kebaikan untuk seorang hamba, Dia akan mempekerjakannya sebelum kematiannya”. Lalu salah seorang (sahabat) bertanya : “Bagaimana Allah mempekerjakannya?” Beliau menjawab : “Allah memberinya petunjuk untuk beramal shalih sebelum meninggalnya, baru kemudian Allah mencabut nyawanya dalam keadaan ia beramal shalih” [Musnad Al Imam Ahmad, no. 16884]

Dan riwayat lain secara marfu’ :

حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحُبَابِ، حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ، حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَمِقِ الْخُزَاعِيِّ، أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَ صلى الله عليه وسلم يقول: «إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا اسْتَعْمَلَهُ» قِيلَ: وَمَا اسْتَعْمَلَهُ؟ قَالَ: «يُفْتَحُ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ بَيْنَ يَدَيْ مَوْتِهِ حَتَّى يَرْضَى عَنْهُ مَنْ حَوْلَهُ» (مسند الإمام أحمد، حديث رقم21387)

Zaid bin Al Hubaab menuturkan kepada kami, Mu’awiyah bin Shalih menuturkan kepada kami, Abdurrahman bin Jubair menuturkan kepada kami dari Ayahnya dari Amr bin Al Hamiq Al Khuza’iy bahwasanya beliau mendengar Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Apabila Allah menghendaki kebaikan untuk seorang hamba, Dia akan mempekerjakannya”. Lalu ditanyakan : “Apa bentuk Allah mempekerjakannya”. Beliau menjawab : “Allah membukakan untuknya pintu amal shalih menjelang kematiannya hingga sekelilingnya ridho kepadanya” [Musnad Imam Ahmad no. 21387]

Hadits-hadits ini termasuk jawami’ul kalim Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, di mana jawami’ul kalim adalah hadits ringkas yang menampung segala maksud pesan agung, yaitu pesan yang mampu menghidupkan hati seperti cinta kepada Allah dan perintah beramal shalih serta untuk mengangkat derajat umat yang merupakan sebaik-baik umat yang dimunculkan di tengah-tengah manusia.

Mengapa perumpamaan Rosulullah adalah “memaniskan dengan madu” ?

Rosulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengibaratkan amal shalih dengan madu karena madu merupakan makanan yang baik dan selain rasanya yang manis, madu juga mampu membuat manis apa saja yang makanan lainnya.

Secara khusus madu termasuk makanan yang mengumpulkan banyak kebaikan gizi dari berbagai jenis makanan atau buah-buahan, sehingga makanan yang diberi madu memiliki nilai kebaikan yang lebih tinggi dibandingkan makanan yang tidak diberi madu. Demikianlah ketika Allah subhanahu wa ta’ala mengaruniakan taufiq untuk beramal shalih sebenarnya Allah sedang memberikan hadiah / penghargaan.

Bagi orang ‘Arab, seseorang dianggap telah memuliakan saudaranya ketika ia memberi saudaranya makanan madu. Dan mereka (orang ‘Arab) biasanya menyebut ‘madu’ untuk apa saja yang menimbulkan rasa manis yang melezatkan.

Ada syair arab yang menggambarkan betapa kemuliaan berupa amalan kebaikan akan tetap lestari melekat pada suatu kaum dan berkesan oleh manusia meski kaum tersebut telah lenyap bertahun-tahun yang lalu :

قد مات قومٌ وما ماتت مَكارِمُهُمْ *** وعاش قومٌ وهمْ في الناس أمواتُ

Ada kaum yang sudah mati tapi kemuliaannya tidak ikut mati
Ada juga kaum yang tetap hidup meski menurut manusia mereka telah mati

Imam Ibnu Al Atsir menjelaskan penggunaan kata al ‘asalu (madu) dalam kitab An Nihayah – nya, yaitu pada kata “العسل” :

Dalam sebuah hadits : “إذا أراد الله بعبد خيرًا عسله” (Apabila Allah menghendaki kebaikan seorang hamba, Dia akan memaniskannya dengan madu), lalu ditanyakan : “يا رسول الله، وما عسله؟” (Wahai Rosulullah apa bentuk memaniskannya dengan madu?). Beliau menjawab : “يفتح له عملا صالحًا بين يدي موته حتى يرضى عنه من حوله” (Allah membukakan untuknya amalan shalih menjelang kematiannya hingga sekelilingnya senang terhadapnya).

Al ‘Asalu “العسل” adalah sebaik-baik penghargaan, (istilah ini) di ambil dari kata Al ‘Asalu “العسل” yang berarti madu, diungkapkan “عَسَلَ الطَّعَامَ يَعْسِلُهُ” ketika bermaksud menambahkan madu pada makanan. Beliau (Nabi) mengibaratkan karunia Allah berupa amalan shalih yang penyebutannya di antara kaumnya ada nilai kebaikan, dengan madu yang ketika ditaruh pada makanan dapat memaniskannya dan lebih nikmat.

Diantaranya pula hadits : “إذا أراد الله بعبد خيرًا عسله في الناس” (Apabila Allah menghendaki kebaikan seorang hamba, Dia akan memaniskannya di antara manusia). Artinya, memperbagus amal baiknya di antara mereka.

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam pernah berkata kepada istri Rifa’ah Al Qurazhiy : “حَتَّى تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقُ عُسَيْلَتَكِ” (Hingga engkau merasakan madunya, dan dia merasakan madumu) [Shahih Bukhari. no. 2639]. Beliau (Nabi) mengibaratkan lezatnya berjima’ dengan rasa madu, di mana peminjaman istilah itu pada rasanya. Dan alasan pen-ta’nits-an (pensifatan perempuan pada kata ‘usailah) itu karena maksudnya adalah sebagian sedikit dari madu. Ada (pakar bahasa ‘Arab) yang berkata: “termasuk pemberian (ta’nits) adalah pada kata An Nuthfah (artinya sedikit dari sperma)”.

Ada (pakar bahasa ‘Arab) yang berkata juga : “Kata Al ‘Asalu (madu) pada dasarnya bisa mudzakar dan bisa muannats”. Maka saat seseorang mau men-tasghir kata “العسل” dengan muannats, dia bisa berkata “عسيلة” / ‘usailah, Seperti istilah “قويسة” / quwaisah, “وشميسة” / syumaisah. Yang jelas, fungsi pen-tasghir-an adalah untuk menunjukkan kepada ukuran sedikit yang sudah cukup untuk mendapatkan hasil. – Selesai Penjelasan Imam Ibnu Al Atsir. 1

Dari hadits ini ada beberapa faidah yang bisa kita petik di antaranya :

  1. Dalam penggunaan istilah, Orang ‘Arab terbiasa menggunakan kata kerja “عَسَلَ ، يَعْسِلُ” (dari kata al ‘asalu = madu) untuk segala sesuatu yang dapat memaniskan. Dengan adanya hadits di atas banyak di antara mereka menggunakan kalimat “عَسَلَكَ اللَّهُ” sebagai ungkapan pujian, doa dan penghargaan.
  2. Seorang muslim adalah orang yang memiliki himmah ‘aliyah (obsesi yang kuat) untuk menanggung tugas-nya sebagai hamba hingga maut menjemput. Teguh dan sabar menghadapi apapun halangan berupa ujian hidup, gangguan musuh hingga kezaliman orang-orang di sekitarnya. Himmah merupakan amalan hati, di mana hati tiada kuasa untuk mengendalikannya kecuali setelah Allah ta’ala menghendaki. Seperti halnya burung yang terbang dengan sayapnya, manusia terbang dengan himmahnya, menggapai harapan, membebaskan diri dari ikatan yang membelenggu raganya. Berkata Abu Thayyib Al Mutanabbi rahimahullah:

    فعلى قدر أهل العزم تأتي العزائم *** وتأتي على قدر الكرام المكارم
    وتعظم في عين الصغير صغارها *** وتصغر في عين العظيم العظائم

    Dengan tekad bulat, tercapai cita-cita
    Dengan kedermawanan, tergapai kemuliaan.
    ***
    Hal kecil akan tampak berat bagi orang bermental kecil
    Hal besar tampak ringan bagi orang bermental hebat  2

    Hal terpenting yang harus diingat mengapa seorang muslim harus mengazamkan diri untuk memiliki himmah yang tinggi dalam menempuh ibadah dan perjuangan di jalan Allah adalah karena yang dituju adalah kemuliaan tertinggi, yaitu kemuliaan di sisi Allah sebagai hamba yang disayang dan cintai dengan cinta yang hakiki. Dan tidaklah bagi orang yang meminta pertolongan untuk mendapatkan kemuliaan di sisi Allah ta’ala, melainkan Allah pasti kabulkan dan mudahkan jalan kepadanya.

  3. Hendaknya seorang muslim beramal demi agama ini, dengan selalu memperbaharui baktinya untuk kepentingan agama ini menurut kemampuannya, karena ummat Islam adalah ummat pembaharu di atas perkara yang ma’ruf bukan umat yang mengacau manusia, ummat yang cerdas dan kreatif bukan umat yang mereka-reka ritual ibadah, umat yang innovatif bukan umat yang latah.Ummat Islam disebut Allah sebagai sebaik-baik ummah yang dihadirkan di tengah-tengah ummat agar menjadi pembaharu dalam kebajikan dan kemuliaan akhlak. Maka jangan sampai kita tidak termasuk dalam umat yang disebutkan Allah tersebut karena sikap kita yang apatis dan cenderung pasif dalam memperjuangkan tegaknya hukum Allah.Identitas kita yang tertulis beragama Islam atau pengakuan sebagai orang Islam, tidak otomatis menjadikan kita termasuk sebaik-baik umat. Karena kadar paling mendasar dikatakan sebaik-baik umat adalah umat yang masih menjaga Islam dari pembatal-pembatalnya, dan kadar yang tertingginya adalah umat yang menyempurnakan agamanya dengan akhlak yang mulia dan amar makruf nahi munkar.
  4. Hendaknya seorang muslim memahami bahwa amal shalih akan memberikan dampak yang baik dan “manis” kepada lingkungannya, masyarakat akan merasa aman dan terjaga harta dan kehormatanya dari lisan yang buruk, perangai yang jahat dan tersebarnya aib. Dalam Syarh Muslim, Kitab Fadhoil Shohabah : Abdullah bin Umar radhiyallohu ‘anhuma, Imam An An Nawawi rahimahullah berkata : والصالح هو القائم بحقوق الله تعالى وحقوق العباد (Dan orang yang shalih itu adalah orang yang menjaga hak-hak Allah dan hak-hak hamba). 3Amal shalih tidak hanya berkaitan dengan amalan ibadah ritual saja, amal shalih juga mengandung konsekuensi untuk berbuat baik kepada seluruh hamba Allah termasuk juga kepada seluruh makhluk. Di mana seseorang belum dinilai shalih jika sudah baik dalam aktivitas sholat, dzikir dan ritual ibadah lainnya namun buruknya lisan mengganggu orang di sekitarnya atau perbuatannya yang zhalim kepada orang yang berhak mendapat perlakuan yang adil darinya, atau juga membuang sampah sembarangan yang dapat mengganggu kenyamanan.Sebagian contoh amal shalih sudah digambarkan dalam hadits Rosulullah shalallahu ‘alaihi wasallam اتق الله حيثما كنت ، وأتبع السيئة الحسنة تمحها، وخالق الناس بخلق حسن (Bertaqwalah kepada Allah dimanapun engkau berada, dan hendaknya setelah melakukan kejelekan engkau melakukan kebaikan yang dapat menghapusnya. Serta bergaulah dengan orang lain dengan akhlak yang baik‘) [HR. Ahmad 21354, Tirmidzi 1987, ia berkata: ‘hadits ini hasan shahih’]
  5. Seorang muslim hendaknya selalu dan terus-menerus meminta agar mendapat kematian yang baik, karena tidak ada yang tahu kapan ruhnya akan dicabut. Kematian itu pasti, dan memilih kematian yang baik itu adalah pilihan seorang mu’min. Maka mohonlah kematian yang terbaik di sisi Allah, karena bisa jadi ajalmu hanya sampai beberapa saat setelah ini.
  6. Seorang muslim hendaknya sering bertaubat sebelum tertutupnya pintu diterimanya taubat. Taubat dari dosa yang diketahui maupun dosa-dosa yang tak kita ketahui. Jangan merasa cukup bertaubat, karena bisa jadi jika kita merasa sudah cukup bertaubat, ada dosa-dosa yang tak kita sadari dan tak terampuni. Naudzubillah min dzalik.
  7. Janganlah menunda-nunda amal jika memang ingin berhasil “dimaniskan” Allah dengan amal shalih sebelum ajal. Karena yang paling bisa memahami potensi amal shalih itu Allah dan dirinya sendiri, maka mohonlah kepada Allah dan pilihlah amal shalih yang paling bisa dan mampu dikerjakan dengan mudah dan rutin.

Betapa bahagia orang yang dimaniskan oleh Allah dengan amal shalih pada akhir hidupnya. Ya Allah Ya Robbi limpahkanlah untuk kami cinta kepadamu yang membuat kami tak pernah memandang berat segala perintah-Mu dan jadikan akhir hidup kami Engkau maniskan kami dengan amalan yang Engkau cintai. Ya Robbi sungguh kami banyak dosa, dan tak ada yang bisa mengangkat derajat kami kecuali Engkau, maka ampunilah dan rahmati kami. Aamin…

Wallahu a’lam bish showab
Semoga bermanfaat

Written by Adhi S

Footnotes

  1. [An Nihayah fi Gharib Al Hadits wal Atsar Lil Imam Ibnu Al Atsir – Tahqiq Thahir Ahmad Zawiy wa Mahmud Muhammad Thonahiy, Al Maktabah Al Islamiyah, Cet. Pertama, Jilid 3 / hal. 237]
  2. Al Laami’ Al Aziz Syarh Diwaan Al Mutanabbi Li Ibnil ‘Alaa` Al Ma’arriy – Tahqiq Muhammad Sa’id Al Mawlawiy, Markaz Malik Faishal Lil Buhuts wa Ad Dirosat Al Islamiyah, Jilid 3, hal. 1173]
  3. [Syarh Nawawi alal Muslim, Penerbit Muassasah Al Qurthubah, Cet. Pertama, Juz 16 Hal. 56-57]