Di tengah kehidupan umat Islam, kita sering melihat bagaimana kaum muslimin sangat menjaga teks-teks Arab atau hijaiyah, agar tidak diletakkan sembarangan. Biasanya, tulisan-tulisan Arab itu dijauhkan dari tempat yang kotor atau yang bisa diinjak. Sudah hal maklum jika tulisan tersebut adalah ayat Al Qur’an yang suci. Namun bagaimana jika tulisan Arab tersebut bukan ayat atau kalimat-kalimat apapun yang tidak dianggap suci dan dihormati. Apakah masih ada tuntutan untuk menjaganya atau tidak?
Berkaitan dengan hal ini, ternyata sejak dulu para ulama perbedaan pendapat, apakah huruf-huruf Arab itu sendiri punya kehormatan khusus, ataukah itu karena tergantung isi pesan yang tertulis.
Pendapat Pertama : Kehormatan terdapat pada huruf hijaiyah-nya, terutama jika huruf tersebut ditulis dalam bahasa Arab, atau bahkan jika mengandung kata yang dimuliakan seperti ayat Al Qur’an, lafazh Allah ataupun Asmaul Husna.
Para ulama dari mazhab Maliki pernah membahas tentang kehormatan huruf Arab pada Bab Maa yahrumu Al Istinjaau wal Istijmaaru (apa yang dilarang digunakan saat istinja’ dan istijmar’). Mereka menegaskan bahwa kita tidak boleh menggunakan benda yang terdapat tulisan dalam bahasa Arab, seperti ayat-ayat Al-Qur’an, hadis, nama Allah, atau tulisan lainnya untuk tujuan istinja’ atau istijmar (membersihkan diri setelah buang air), selama tulisan itu menggunakan huruf Arab.
Imam Al-Khurasy al-Maliki رحمه الله dalam “Syarh al-Khurasy `ala Mukhtasar Khalil” (1/150) berkata mengenai hal-hal yang diharamkan untuk digunakan dalam istijmar:
كالمكتوب لحرمة الحروف، ولو باطلا كالسحر، ولو توراة وإنجيلا مبدلة، لما فيها من أسماء الله تعالى، وأسماؤه لا تبدل، إنما الباطل ما في التوراة والإنجيل من تحريف
“Seperti tulisan huruf Arab dihormati karena kehormatan huruf hijaiyahnya, meskipun isinya batil seperti sihir, meski isinya Taurat dan Injil yang telah diubah-ubah. Hal ini dikarenakan di dalamnya terdapat nama-nama Allah yang tidak akan berubah kemuliaannya. Sementara kebatilan dalam Taurat dan Injil adalah pada perubahan inti pesannya.”
Demikian juga Imam ad-Dasuqi al-Maliki رحمه الله dalam “Hasyiyah ad-Dasuqi `ala asy-Syarh al-Kabir” (1/113) berkata:
لحرمة الحروف) أي لشرفها. قال الشيخ إبراهيم اللقاني محل كون الحروف لها حرمة إذا كانت مكتوبة بالعربي؛ وإلا، فلا حرمة لها، إلا إذا كان المكتوب بها من أسماء الله
“Kalimat (Li hurmatil huruf) = demi kehormatan huruf-huruf hijaiyah; maksudnya adalah disebabkan kemuliaannya. Syaikh Ibrahim al-Laqani mengatakan bahwa kehormatan huruf hijaiyah itu berlaku jika ditulis dengan bahasa Arab, jika tidak maka tidak ada kehormatan bagi huruf-huruf itu, kecuali jika yang ditulis tersebut adalah nama Allah.”
Para ulama mazhab Maliki tidak menyebutkan dalil khusus terkait hal ini, namun mereka menjelaskan bahwa huruf-huruf Arab dihormati karena merupakan bahasa Al-Qur’an, yang memang seharusnya dimuliakan. Pendapat ini mereka sampaikan dalam konteks istinja’ dan istijmar.
Adapun untuk penerapan lainnya, mereka membedakan antara kalimat yang dimuliakan dan kalimat biasa yang tidak dimuliakan. Mereka mengharamkan perlakuan apapun yang mengandung penghinaan terhadap tulisan yang dimuliakan. Namun jika tulisan tersebut tidak termasuk yang dimuliakan, mereka hanya memakruhkannya.
Imam Ibn al-Haj al-Maliki رحمه الله dalam “al-Madkhal” (4/89) mengatakan:
ويتعين عليه -أي الذي يقوم بتجليد الكتب- أن ينظر في الورق الذي يُبَطِّن به، فإن الغالب على بعض الصناع في هذا الزمان أنهم يستعملون الورق، من غير أن يعرفوا ما فيه. وذلك لا يجوز؛ لأنه قد يكون فيه القرآن الكريم، أو حديث النبي – صلى الله عليه وسلم – أو اسم من أسماء الملائكة أو الأنبياء – عليهم السلام -؛ وما كان من ذلك كله فلا يجوز استعماله، ولا امتهانه؛ حرمة له، وتعظيما لقدره. وأما إن كان فيه أسماء العلماء أو السلف الصالح – رضي الله عنهم – أو العلوم الشرعية: فيكره ذلك، ولا يبلغ به درجة التحريم كالذي قبله. وطالب العلم أولى بأن ينزه نفسه عن الدخول في المكروه
“Orang yang mengerjakan penjilidan buku mestinya harus memeriksa kertas yang akan digunakan untuk melapisinya, karena banyak produsen kertas di zaman ini yang menggunakan kertas tanpa mengetahui apa yang tertulis di atasnya. Ini tidak diperbolehkan, karena bisa jadi ada Al-Qur’an, hadis Nabi ﷺ, atau nama-nama malaikat dan nabi-nabi عليه السلام di dalamnya. Apa pun yang berisi itu semua, tidak boleh digunakan atau direndahkan, karena harus dihormati dan dimuliakan. Namun, jika yang tertulis adalah nama-nama ulama atau salaf yang saleh – رضي الله عنهم – atau ilmu-ilmu syar’i, itu dimakruhkan, meskipun tidak sampai derajat haram seperti yang disebutkan sebelumnya. Dan seorang pelajar ilmu lebih baik untuk menjaga diri dari terjerumus dalam hal-hal yang dimakruhkan.”
Pendapat Kedua: Kehormatan adalah pada konten yang tertulis, bukan pada huruf hijaiyah itu sendiri.
Mayoritas ulama dari beberapa madzhab yang lain berpendapat bahwa tidak ada larangan menggunakan sesuatu yang ada tulisan apapun untuk istijmar, kecuali jika tulisan tersebut berisi hal-hal yang dimuliakan, seperti ayat-ayat Al-Qur’an, hadis-hadis, nama Allah, atau nama-nama nabi. Sementara itu, untuk tulisan yang tidak termasuk dalam kategori tersebut, menurut mereka tidak ada larangan untuk menggunakannya.
Imam al-Harawi al-Hanafi رحمه الله dalam “Fath Bab al-`Inayah bi Sharh al-Nuqayah” (1/173) mengatakan:
صَرَّح بعضُ الحنفيةِ والشافعية: أنه يُكرَهُ الاستنجاءُ بالورقِ المجرَّد. وجُوِّزَ به، إذا كان فيه عِلمُ المنطِق، إذا لم يكن فيه ذِكرُ الله وذِكرُ رسولِه، وكذا الشِّعْرُ المذمومُ الخالي عن ذكرِهما
“Sebagian ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah menyatakan bahwa istinja’ dengan kertas kosong itu dimakruhkan. Dan diperbolehkan jika kertas tersebut berisi ilmu mantiq (logika), – asalkan tidak terdapat di dalamnya penyebutan nama Allah dan Rasul-Nya-, demikian juga syair-syair yang tercela yang tidak memuat sebutan keduanya.”
Mengutip dari “Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah” (34/181), di sana disebutkan :
اتفق الفقهاء على أنه لا يجوز الاستنجاء بمحترم، كالكتب التي فيها ذكر الله تعالى ككتب الحديث والفقه؛ لحرمة الحروف، ولما في ذلك من هتك الشريعة والاستخفاف بحرمتها . واختلفوا في الكتب غير المحترمة، ومثلوا لها بكتب السحر والفلسفة وبالتوراة والإنجيل إذا علم تبدلهما.
فذهب المالكية إلى أنه لا يجوز الاستنجاء بهذه الكتب لحرمة الحروف، أي لشرفها. قال إبراهيم اللقاني: محل كون الحروف لها حرمة، إذا كانت مكتوبة بالعربي؛ وإلا، فلا حرمة لها؛ إلا إذا كان المكتوب بها من أسماء الله تعالى. وقال علي الأجهوري: الحروف لها حرمة، سواء كتبت بالعربي أو بغيره.
وقال الحطاب: لا يجوز الاستجمار بالمكتوب، ولو كان المكتوب باطلا كالسحر؛ لأن الحرمة للحروف، وأسماء الله تعالى إن كتبت في أثناء ما تجب إهانته كالتوراة والإنجيل بعد تحريفهما، فيجوز إحراقها وإتلافها، ولا يجوز إهانتها؛ لأن الاستنجاء بهذه الكتب إهانة، لمكان ما فيها من أسماء الله تعالى؛ لأنها وإن كانت محرمة، فإن حرمة أسماء الله تعالى لا تُبدَّل على وجه.
وذهب الشافعية إلى أن غير المحترم من الكتب، ككتب الفلسفة، وكذا التوراة والإنجيل: إذا علم تبدلهما، وخلوهما عن اسم معظم: فإنه يجوز الاستنجاء به.
وقال ابن عابدين من الحنفية: نقلوا عندنا أن للحروف حرمة، ولو مقطعة. وذكر بعض القراء أن حروف الهجاء قرآن، أنزلت على هود عليه السلام. ومفاده: الحرمة بالمكتوب مطلقا
“Para ulama sepakat bahwa tidak boleh melakukan istinja’ dengan menggunakan sesuatu yang dihormati, seperti buku-buku yang mengandung penyebutan nama Allah, seperti buku hadist dan fiqih, demi kehormatan huruf-huruf tersebut dan juga karena hal itu akan merendahkan hukum syariat dan menghinakan kehormatannya. Namun mereka berbeda pendapat mengenai buku-buku yang tidak dihormati, seperti buku-buku sihir, filsafat, dan Taurat serta Injil jika diketahui telah mengalami perubahan.
- Ulama madzhab Maliki tetap berpendapat bahwa tidak boleh melakukan istinja’ dengan buku-buku tersebut demi kehormatan huruf-hurufnya, yaitu karena kemuliaannya.”
Ibrahim al-Laqani Al Maliki mengatakan: “Kehormatan huruf-huruf itu adalah jika tertulis dengan bahasa Arab; jika tidak, maka tidak ada kehormatan lagi bagi huruf-huruf tersebut, kecuali jika yang tertulis adalah nama Allah.
Demikian juga Ali al-Ujhuri berpendapat : huruf-huruf itu memiliki kehormatan, baik ditulis dengan bahasa Arab atau selainnya.
Al-Hattab Al Maliki berkata: “Tidak boleh melakukan istijmar dengan menggunakan benda yang bertuliskan, meskipun tulisan tersebut batil seperti sihir, karena kehormatan itu ada pada huruf-hurufnya. Sedangkan nama-nama Allah jika tertulis dalam lembaran yang dihinakan seperti Taurat dan Injil yang telah diubah-ubah, maka boleh dibakar dan dihancurkan, tetapi tidak boleh direndahkan. Ini karena melakukan istinja’ dengan buku-buku tersebut adalah penghinaan, mengingat di dalamnya terdapat nama-nama Allah. Meskipun buku tersebut terlarang, kehormatan nama-nama Allah tetap tidak berubah kemuliaannya.” - Ulama mazhab Syafi’i berpendapat bahwa untuk buku-buku yang tidak dihormati, seperti buku filsafat, serta Taurat dan Injil jika diketahui telah diubah dan tidak mengandung nama yang dimuliakan, maka boleh digunakan untuk istinja’.
- Imam Ibn Abidin dari madzhab Hanafi mengatakan: “Telah dinukilkan dari madzhab kami bahwa huruf-huruf itu memiliki kehormatan, meskipun potongan huruf. Beberapa ahli Qur’an menyatakan bahwa huruf-huruf hijaiyah merupakan bagian dari Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Hud عليه السلام.” Yang intinya menunjukkan bahwa secara mutlak kehormatan itu adalah pada apa yang dituliskan.“
Dari hal ini, dapat disimpulkan bahwa pandangan mayoritas ulama adalah bahwa secara sendirinya, huruf-huruf hijaiyah itu tidak memiliki kehormatan, tetapi menjadi mulia atau tidak itu bergantung pada apa isi yang tertulis. Jika memang yang tertulis adalah sesuatu yang dimuliakan, maka wajib dimuliakan, namun jika tidak maka tidak ada keharusan untuk memuliakannya. Sedangkan mazhab Maliki menganggap bahwa tulisan Arab tetap dihormati dan dimuliakan secara mutlak karena huruf hijaiyah / Arab itu sendiri merupakan bahasa Al-Qur’an.
Dari pembahasan ini, maka ketika hendak membuang kertas bertuliskan Arab, wajib periksa kembali apakah itu mengandung ayat Al Qur’an, hadits atau nama-nama Allah, dan nama-nama yang dimuliakan. Jika itu hanya sekedar tulisan biasa seperti “المدرسة الإبتدائية” = “Sekolah Dasar”, maka boleh saja membuangnya, tapi jika telah dipastikan terdapat tulisan-tulisan yang dimuliakan, maka sebaiknya dibakar atau dihancurkan / disobek-sobek hingga bekas tulisan tersebut hilang.
Wallahu a’lam.
Disarikan dari : Mawqi’ul Islam Su’al wal Jawab